Jumat, 12 Agustus 2016

Kelainan Kulit Akibat Alergi Makanan

     



        Kelainan kulit akibat alergi makanan ialah dermatosis akibat reaksi imunologik terhadap makana atau bahan pelengkap makanan.
       Reaksi simpang makanan adalah setiap reaksi yang tidak diinginkan akibat ingesti makanan atau bahan aditif makanan. Reaksi ini terbagi dalam alergi makanan dan intoleransi makanan. Alergi makanan didasari oleh mekanisme imunologis, sedangkan intoleransi makanan terjadi akibat mekanisme fisiologis atau non-imunologis. Intoleransi makanan dapat terjadi akibat sifat farmakologis makanan tersebut, misalnya kafein mengakibatkan irritable bowal, atau toksin yang berada dalam makana, biasanya karena proses pembuatan yang tidak baik atau akibat adanya gangguan metabolisme ( misalnya: defisiensi laktase, fenilketonuria ).
       Manifestasi alergi makanan pada kulit umumnya berupa urtikaria, angiodema atau dermatitis atopik. Namun dapat juga berupa dermatitis herpetiformis Duhring.
       Prevalensi alergi makanan tidak diketahui dengan pasti, namun besarnya dugaan masyarakat terhadap alergi makanan melebihi prevalensi yang dibuktikan melalui penelitian klinis. Gangguan ini lebih sering ditemukan pada bayi dan anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.

Patofisiologi ;

      Setiap saat saluran cerna akan terpajan dengan berbagai macam protein yang bersifat alergenik, namun reaksi hipersensitivitas terhadap makanan relatif jarang terjadi. Hal ini mencerminkan betapa efisiennya fungsi saluran cerna dalam memproses makanan. Sawar mekanis atau non-imunologis yang terdapat pada saluran cerna adalah asam lambung, enzim proteolitik, mukus dan gerakan peristaltik. Selain sawar mekanis, penting pula sawar imunologis yang diperankan oleh gut-associated lymphoid tissue ( GALT ) yang terdiri atas :

1. Folikel limfoid sepanjang mukosa usus, termasuk apendiks dan bercak peyer.
2. Limfosit intraepitel
3. Limfosit, sel plasma dan sel mast pada lamina propria
4. Kelenjar limfe mesenterium

       Setelah ingesti  makanan, terjadi peningkatan IgA-sekretori pada lumen usus, yang akan mengikat protein membentuk suatu kompleks, sehingga absorpsi berkurang. Sekitar 2 % makromolekul tetap akan terserap dalam bentuk antigen utuh, dan terhadap bagian ini akan timbul toleransi. Mekanisme terjadinya toleransi belum diketahui dengan pasti, kemungkinan melalui se T CD8+. Hipersensitifitas terhadap makanan terjadi bila toleransi hilang atau berkurang.Tingginya insiden alergi makanan pada bayi dan anak-anak , mungkin akibat imaturitas sistem imun dan fungsi fisiologis saluran cerna yang belum sempurna.
      Urtikaria dan angiodema didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-linking IgA yang melekat pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat keadaaan tersebut terjadi pelepasan mediator histamin leukotrien dan prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis.

       


 Gejala Klinis Alergen :

       Manifestasi alergi makanan pada kulit umumnya bervariasi dari urtikaria akut dan angioedema sampai ruam morbiliformis. Urtikaria formis jarang disebabkan oleh alergi makanan.
       Alergi makanan juga telah dibuktikan merupakan pencetus dermatitis atopik pada sepertiga kasus anak-anak. Dalam waktu 2 jam setelah ingesti makana, akan terjadi eritema dan pruritus yang menyebabkan penderita menggaruk sehingga sehingga terjadi eksaersbasi dermatitis atopik. Kasus dermatitis atopik apada bayi diperkirakan 85 % akan mengalami toleransi terhadap makanan setelah mencapai usia 3 tahun.

Kelainan Pigmen

 



      Warna kulit manusia ditentukan oleh berbagi pigmen. Yang berperan pada penetuan warna kulit adalah : karoten, melani, oksihemoglobin, dan hemoglobin bentuk reduksi, yang paling berperan adalah pigmen melanin.
      Melanosis adalah kelainan pada proses pembentukan pigmen melanin kulit :
1. Hipermelanosis ( melanoderma ) bila diproduksi pigmen melanin bertambah
2. Hipomelanosis ( lekoderma ) bila produksi pigmen melanin berkurang .

1. Hipermelanosis

      Dapat disebabkan oleh sel melanosit bertambah maupun hanya karena pigmen melanin saja yang bertambah. Sebaliknya leukoderma dapat disebabkan oleh pengurangan jumlah pigmen melanin atau berkurang maupun tidak adanya sel melanosit.
      Fitzpatrick membagi hipermelanosis berdasrakan distribusi melanin dalam kulit :
a. Hpermelanosis cokelat bila pigmen melanin terletak pada epidermis.
b. Hipermelanosis abu-abu bila pigmen melanin terletak didalam dermis.

2. Hipmelanosis

       Pengurangan jimlah pigmen melanin atau berkurang maupun tidak adanya sel melanosit. 


- MELASMA

        Melasma adalah hipermelanosis didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna cokelat muda sampai cokelat tua, mengenai area yang trepajan sinar ultarviolet dengan tempat predileksi pada pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung dan dagu.
        Melasma dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang tinggal di daerah tropis. Melasma terutama dijumpai pada wanita, meskipun didapat pula pada pria ( 10 % ) . Di Indonesia perbandingan kasus wanita dan pria adalah 24:1 . Terutama tampak pada wanita usia subur dengan riwayat langsung terkena pajana sinar matahari insidens terbanyak pada usia 30-44 tahun.
        Kelainan ini dapat mengenai wanita hamil, wanita pemakai pil kontrasepsi, pemakai kosmetik, pemakai obat dan lain-lain.

Penyebab Melasma ;

        Melasma sampai saat ini belum diketahui pasti. Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah :
1. Sinar ultraviolet
    Spektrum sinar matahari ini merusak gugus sulfhidril di epidermis yang merupakan penghambat     enzim tirosinase dengan cara mengikat ion Cu dari ensim tersebut. Sinar ultra violet menyebabkan enzim tirosinase tidak dihambat lagi sehingga memacu proses melanogenesis.
2. Hormon
     Misalnya estrogen, progesteron, dan MSH berperan pada terjadinya melasma. Pada kehamilan, melasma biasanya meluas pada trimester ke-3. Pada pemakai pil kontrasepsi, melasma tampak dalam 1 bulan sampai 2 tahun setelah dimulai pemakaian pil tersebut.
3. Obat
    Misalnya difenil hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik, dan minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma Obat ini ditimbun di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang melanogenesis.
4. Genetik
    Dilaporakan adanya kasus keluarga sekitar 20-70 %
5. Ras
    Melasma banyak dijumpai pada golongan hispanik dan golongan kulit berwarna gelap.
6. Kosmetika
    Pemakaian kosmetik yang mengandung parfum, zat pewarna ataua bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosensitifitas yang dapat mengakibatkan timbulnya hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan sinar matahari.
7. Idiopatik

Gejala Klinis Melasma :

      Lesi melasma berupa makula berwarna cokelat muda atau cokelat tua berbatas tegas dengan tepi tidak teratur, sering pada pipi, dan hidung yang disebut pola molar. Pola mandibular terdapat pada dagu, sedangkan pola sentrofasial di pelipis, dahi, alis, dan bibir atas. Warna keabu-abuan atau kebiru-biruan terutama pada tipe dermal.

Diagnosis Melasma :

      Diagnosis melasma ditegakkan hanya denga pemeriksaan klinis. Untuk menentukan tipe melasma dilakukan pemeriksaan sinar Wood, sedangkan pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu.

Penatalaksanaan :

       Pengobatan melasma memerlukan waktu yang cukup lama, kontrol teratur serta kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang menanganinya. Kebanyakan penderita berobat unutk alasan kosmetik. Pengobatan dan perawatan kulit harus dilakukan secara teratur dan sempurna karena melasma bersifat kronis residif. Pengobatan yang sempurna adalah pengobatan yang kausal, maka penting dicari etiologinya.

Malaria








Gejala Klinis Malaria :

Malaria harus dipertimbangkan terjadi pada setiap pasien yang mengalami gejala demam, yang baru saja kembali dari daerah endemik, atau menetap didaerah endemik. Meskipun tanda-tanda dan gejala dapat bersifat nonspesifik , tanda penting malaria adalah demam tingggi, rekuren dan spiking. Secara klasik, lama waktu diantara munculnya demam dapat membantu membedakan spesies penyebab ( siklus 72 jam untuk plasmodium malariae dan siklus 48 jam untuk plasmodium falciparum , plasmodium vivax, dan plasmodium ovale ) .Pasien yang terinfeksi P. Falciparum dapat mengalami ensefalitis. Lebih dari 90 % penderita dengan infeksi P .Falciparum menjadi sakit dalam waktu 6 minggu setelah bepergian ke daerah endemik. Pasien dengan infeksi P. Vivax dapat mengalami gejala setelah 6 bulan sampai beberapa tahun setelah bepergian. 

Patofisiologi :

Malaria menyebabkan 300-500 juta infeksi baru setiap tahunnya dan membunuh 1,5-2,7 juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Diketahui ada empat spesies plasmodium yang menginfeksi manusia , menyebabkan dua jenis penyakit relapsing.

Diagnosis :

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan apusan darah tebal yang memungkinkan evaluasi banyak sel. Identifikasi spesies plasmodium dan tingkat parasitemi ( persentasi neutrofil yang mengandung pigmen malaria ) dibuat pada apusan darah tipis. Darah harus diambil saat pasien demam. Jika diagnosis ini sangat dicurigai misalnya pasien baru saja bepergian ke daerah yang sangat endemik atau hiperendemik, apusan negatif harus diulangi setiap 8-12 jam sampai diperoleh tiga apusan. Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan hepatosplenomegali, ikterus skleral, atau ikterus ( 20 % pasien ). Evaluasi laboratorium dapat memperlihatkan anemia, leukopenia , atau trombositopenia. Penanda untuk infeksi serius meliputi gawat napas, hipoglikemia, hipotrnsi, gagal ginjal, dan parasitemia lebih dari 5 %. 

Komplikasi Klinis

Malaria serebral ( perubahan status mental, kejang atau koma ), merupakan komplikasi P. falciparum dengan angka mortalitas yang tinggi. Komplikasi lainnya meliputi hipoglikemia, hipotensi, gagal ginjal, dan anemia berat. Komplikasi lebih mungkin terjadi pada pasien dengan parasitemia lebih dari 5 %,  wanita hamil, anak-anak, dan orang berusia lanjut. 

Tata Laksana :

Pengobatan berdasarkan pada spesies dan keparahan penyakit. Pasien dengan parasitemia lebih dari 5 % atau tanda-tanda lain penyakit berat lainnya harus dirawat di unit perawatan intensif dan diobati dengan quinidin perenteral. Pasien lain harus dipantau secara ketat dan diobati dengan obat-obat oral , tergantung pada pola resistensi lokal dari wilayah yang dikunjunginya.

jam